Jumat, 23 November 2018

Tulisan3_Kompensasipers_daniyastuti_21215586_4EB07

Persoalan berikutnya juga terjadi pada Asuransi Kesehatan (Askes) PNS. Dalam program Askes tersebut setiap PNS wajib mengiur sebesar 2% dari gaji pokoknya yang selanjutnya dikelola oleh PT. Askes. Iuran yang bersumber dari potongan gaji PNS ini menimbulkan persoalan yang sama dengan potongan sebelumnya, dimana sesuai dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 pemerintah berkewajiban memberikan iuran premi dan subsidi untuk biaya pelayanan kesehatan.
Selanjutnya, terkait dengan tabungan perumahan (Taperum) PNS, masing- masing PNS dikenai potongan sebesar 1% dari gaji pokoknya untuk membiayai dana Taperum yang dikelola oleh badan pengelola dana Taperum PNS (Bapertarum). Program Taperum PNS yang diterapkan adalah dengan memberikan bantuan uang muka kredit kepemilikan rumah dan bantuan sebagian biaya membangun rumah. Persoalannya adalah program tersebut akan terlalu lama untuk dapat menjangkau atau membantu PNS yang belum memiliki rumah,
Susunan Simanungkalit, FISIP UI, 2012
sehingga dirasakan masih belum signifikan dalam membantu PNS dalam memenuhi kebutuhan papannya.
Jenis kompensasi tidak langsung berikutnya adalah Asuransi Pendidikan bagi Putera-Puteri PNS. Hingga kini, jenis kompensasi tersebut belum dapat direalisasikan oleh pemerintah secara nasional. Atas persoalan kompensasi, khususnya pada kompensasi tidak langsung yang keseluruhannya bersumber dari gaji PNS sendiri, menimbulkan pertanyaan dapatkah hal demikian disebut sebagai bagian dari kompensasi tidak langsung mengingat uang yang digunakan adalah uang PNS sendiri dari gaji pokok yang diperolehnya ?
Persoalan selanjutnya yang sering menjadi perdebatan hebat yang juga dianggap sebagai faktor penghambat dalam pembenahan sistem kompensasi PNS adalah terkait dengan sistem penganggaran keuangan negara. Secara empiris, di antara pos-pos atau jenis-jenis anggaran belanja, belanja pegawai (PNS) merupakan komponen belanja yang paling besar biayanya dalam struktur anggaran belanja instansi, khususnya instansi pemerintah daerah. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa pertumbuhan anggaran belanja pegawai (Belanja Tidak Langsung) juga lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan anggaran belanja instansi (dulu disebut sebagai Belanja Rutin), dimana pertumbuhan anggaran belanja instansi lebih disebabkan oleh desakan peningkatan belanja pegawai.54 Pada Tahun 2011, dari seluruh instansi pemerintah daerah yang ada (524 instansi), terdapat lebih dari 50% instansi (297 instansi) yang menggunakan anggarannya lebih dari 50% untuk anggaran belanja pegawai.

Jumat, 05 Oktober 2018

Tulisan1_MSDM_Persaingan tenaga lokal dengan tenaga asing_21215586

Sebagaimana diberitakan sejumlah media massa, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Presiden beralasan, regulasi terkait tenaga kerja asing yang selama ini berlaku terlalu berbelit-belit. Padahal menurutnya, keberadaan tenaga kerja asing dibutuhkan untuk meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui kemudahan investasi asing.
Namun, tidak semua pihak sependapat dengan kebijakan tersebut. Sebagian masyarakat menilai Perpres tersebut berpotensi menimbulkan beragam masalah di kemudian hari. Mulai dari membanjirnya tenaga kerja asing ilegal, kian sempitnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal sampai efek sekunder lainnya.
Pemerintah sebenarnya telah mempertimbangkan potensi masalah itu secara masak. Itu terlihat dalam poin-poin Perpres yang menegaskan bahwa tenaga kerja asing hanya diperuntukkan untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian spesifik, dimana tenaga kerja lokal belum siap. Perpres tersebut juga menegaskan instansi atau pelaku dunia usaha harus tetap memprioritaskan tenaga kerja lokal, ketimbang tenaga kerja asing.
Meski demikian, kekhawatiran masyarakat akan pemberlakukan Perpres tersebut tentu bukan hal berlebihan. Di tengah santernya isu perlambatan ekonomi, tingginya angka pengangguran dan kian akutnya persoalan kemiskinan di negeri ini, kekhawatiran tersebut tentu relevan dan wajar adanya.

Keberpihakan

Sejak awal era pemerintahannya, Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk melakukan pembangunan infrastruktur secara masif. Harus diakui bahwa komitmen itu bukan isapan jempol belaka. Memasuki tahun ketiga pemerintahan Jokowi-JK, sejumlah proyek infrastruktur telah dan tengah diselesaikan.
Kenyataan bahwa banyak proyek infrastruktur dilakukan di luar Pulau Jawa adalah sebuah nilai lebih. Di Kalimantan misalnya, tidak kurang terdapat 24 proyek infrastruktur. Di Sulawesi ada 27 proyek, sementara di Papua dan Maluku masing-masing 13 proyek.
Proyek-proyek infrastruktur tersebut meliputi pembangunan bendungan, pelabuhan, bandara, jalan tol, hingga pembangkit listrik. Total keseluruhan anggaran untuk proyek-proyek ambisius tersebut hingga saat ini tidak kurang dari seribu triliun rupiah.
Kita tentu sepakat bahwa pembangunan infrastruktur adalah syarat mutlak bagi terciptanya pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Ketersediaan sarana infrastruktur yang memadai tentu menjadi modal kuat Indonesia dalam kancah persaingan ekonomi global.
Sayangnya, pembangunan infrastruktur secara masif tersebut tidak berbanding lurus dengan upaya membangun sumber daya manusia. Ada kesan, pemerintah cenderung memprioritaskan pembangunan fisik, ketimbang melakukan investasi jangka panjang berupa pembangunan manusia.
Dibanding pembangunan sumber daya manusia, pembangunan fisik-infrastruktur memang nisbi lebih mudah dilakukan; tidak membutuhkan waktu lama dan hasilnya dapat dirasakan secara empiris.
Paradigma berpikir "serba instan" itulah yang pada akhirnya melahirkan kebijakan-kebijakan yang merugikan kepentingan masyarakat sendiri. Perpres tentang penggunaan tenaga kerja asing adalah salah satunya. Meski dilatari motivasi untuk menarik dan memudahkan investasi asing, kebijakan tersebut bukan tanpa menyisakan kemungkinan persoalan.
Persoalan pertama yang paling mungkin muncul ialah membanjirnya tenaga asing ilegal ke Indonesia. Hal itu sangat mungkin terjadi lantaran longgarnya regulasi-birokrasi bagi tenaga kerja asing yang ingin masuk ke tanah air.
Dalam beleid pasal 20 Perpres Tenaga Kerja Asing disebutkan bahwa permohonan visa terbatas (vitas) dan izin tinggal (itas) sementara dapat dilakukan di perwakilan Indonesia di luar negeri yang merupakan perpanjangan tangan imigrasi.
Kemungkinan persoalan lain ialah terjadinya penyelewengan di lapangan, terutama terkait penggunaan tenaga kerja asing yang ditempatkan pada posisi middle-down, atau pekerjaan di level manajerial, personalia bahkan pekerja kasar. Hal ini tentu akan membuat kesempatan kerja tenaga kerja lokal menjadi kian sempit dan harus bersaing dengan tenaga kerja asing yang boleh jadi memiliki kualifikasi dan posisi tawar lebih tinggi.
Kemungkinan sekunder lain juga patut dipertimbangkan dalam hal ini. Mulai dari potensi terjadinya penyelundupan barang-barang ilegal, semisal narkoba atau sejenisnya.
Juga kemungkinan bagi masuknya infiltrasi pengaruh maupun ideologi asing ke Indonesia. Potensi-potensi persoalan itu agaknya luput dari perhatian pemerintah sebagai pengambil kebijakan.
Penting pula untuk dicatat bahwa sejumlah poin dalam Perpres Tenaga Kerja Asing itu dalam banyak hal bertentangan dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Cacat hukum inilah yang membuat Perpres Tenaga Kerja Asing lemah secara konstitusional dan potensial digugat di Mahkamah Agung (MA).
Ambisi untuk menggenjot akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan pembangunan infrastruktur idealnya dilandasi dengan spirit dan komitmen keberpihakan pemerintah pada tenaga kerja lokal. Dibutuhkan sebuah upaya radikal untuk menggeser pola pikir "serba instan" ke arah paradigma yang bertumpu pada filosofi continous improvement.

Daya saing

Institute of Management Development (IMD), sebuah lembaga pendidikan bisnis bereputasi internasional yang berbasis di Swiss, pernah melakukan studi tentang peringkat tenaga berbakat dan terampil di dunia pada tahun 2015.
Dalam laporan penelitian bertajuk IMD World Talent Report 2015, Indonesia menempati urutan ke-41, turun 16 peringkat dari setahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-25. Posisi Indonesia berada jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Rangking ini disusun berdasar setidaknya tiga variabel.
Pertama, bagaimana sebuah negara melakukan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kedua, faktor daya tarik sebuah negara bagi para calon investor asing.
Ketiga, kesiapan sumber daya manusia, utamanya kualitas tenaga kerjanya.
Dari ketiga variabel tersebut, Indonesia hanya unggul di satu variabel, yakni daya tarik investasi asing. The Economist (2016) bahkan menempatkan Indonesia sebagai salah satu dari lima negara tujuan investasi terbaik di kawasan Asia Pasifik.
Kenyataan itu tentu memunculkan ironi. Di satu sisi, negara kita merupakan tujuan investasi yang potensial, namun dari segi inovasi teknologi dan kesiapan tenaga kerja kita sama sekali jauh dari siap.
Tenaga kerja kita hanya unggul secara jumlah angkatan kerja. Seturut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah angkatan kerja pada 2017 mencapai 131, 55 juta; naik sekitar tiga persen dari tahun 2016. Jumlah angkatan kerja tersebut akan terus meningkat dan mencapai puncaknya pada 2030 karena bonus demografi yang dialami Indonesia.
Sayangnya, peningkatan kuantitas jumlah angkatan kerja itu tidak seiring sejalan dengan peningkatan kualitas. Pada titik inilah, upaya peningkatan daya saing dan kompetensi tenaga kerja lokal menjadi hal yang mendesak dan mutlak dilakukan.
Dalam definisiWorld Economic Forum (WEF), daya saing tenaga kerja diartikan sebagai kemampuan tenaga kerja suatu bangsa dalam menggerakkan perekonomian nasional dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Micheal Porter, dalam The Competitive Advantage of Nationsmenyebut bahwa daya saing sebuah negara ditentukan oleh setidaknya tiga hal.
Pertama, konsumsi domestik atau permintaan dalam negeri atas produk barang dan jasa.
Kedua, keberadaan industri manufaktur dengan skala internasional.
Ketiga, ketersediaan sumber daya alam, bahan baku, modal serta infrastruktur pendukung industri modern.
Keempat, ini yang oleh Porter disebut sebagai yang paling penting, ialah ketersediaan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing tinggi.
Setidaknya ada dua upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja lokal.
Pertama meningkatkan kompetensi, baik di bidang teknis, menejerial maupun kemampuan bahasa asing bagi tenaga kerja Indonesia. Hal itu dapat diwujudkan melalui pendidikan formal bercorak vokasi dengan model link-matchantara jurusan pendidikan dan kebutuhan dunia kerja merupakan jenis pendidikan yang cocok.
Kedua adalah mempercepat sertifikasi kompetensi tenaga kerja. Sertifikasi kompetensi penting dilakukan guna memproteksi tenaga kerja Indonesia.
Ketiga tentunya mengendalikan atau membatasi masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya pada tenaga kerja lokal untuk mengembangkan diri di pasar dunia kerja.
Upaya untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja lokal tentu mustahil dilakukan tanpa komitmen penuh untuk berinvestasi di bidang pembangunan sumber daya manusia. Dua tahun sisa waktu pemerintahan Presiden Jokowi ini hendaknya dijadikan semacam momentum pembuktian atas komitmen dan keberpihakan pada tenaga kerja lokal.
sumber: https://beritagar.id/artikel/telatah/perpres-tenaga-kerja-asing-antara-peluang-dan-tantangan

Senin, 21 Mei 2018

tugas2_Softskill Bahasa Inggris 2

We are going to make the Coffee Shop business. Will serving a coffee and some kind of tea & foods. For the first launch of our business will be coming up in Senayan and Brass, because these two places are very crowded. Even tough our funds are’nt big, we are going to make it up, Especially, we have to make a memorable logos, the interior that will make our customers feel comfortable, neatnerss and cleanliness.

Barista
Making a product and, have a more  knowledge about coffee. 
The job scope a barista can depend on the country that they are in.
In Italy, a barista is someone that not only can make great coffee and lattes, but can usually also tend a full bar.
In North America it's a bit of a different story. The barista's skill set will depend on the type of cafe they work in. Certain companies may require them to pass a small course that is unique to their company. This is true of large cafe chains such as Starbucks and Second Cup. These courses teach a lot of theory thus most barista skills are learned practically, on the job. For smaller chains or independent cafes, there is usually an absence of training course materials and all skills will be learned practically, on the job.
Although there is no officially defined industry standard, a barista must be able to do certain things to be considered competent or qualified to work in the industry.

Practical skill sets:
·         Ability to make quality espresso:
·         Tamping pressure
·         Extraction time
·         Grind size and how it relates to factors such as humidity, temperature, etc.
·         Ability to operate espresso machine and monitor boiler and dispensing pressures.
·         Ability to steam milk:
·         Making microfoam
·         Steaming to the proper temperature
·         Altering foam for drinks (lattes vs cappuccinos) and customer preference
·         Steaming different types of milk (Skim, 2%, whole, soy, lactose free, etc)
·         Artisan skills:
·         Ability to make drinks in a well presented manner
·         Latte art via pouring or drawing
·         Toppings such as whipped cream, syrups, etc.
·         Coffee:
·         Ability to grind coffee and brew it
·         Ability to recognize differences in aroma, body, flavour, etc in different coffees.
Theoretical Skill Sets:
·         Understanding the coffee production process, from growth all the way to the cup you serve to your customer.
·         Understanding characteristics in different types of coffee
·         Knowledge of the roasting process, roast type, caffeine, and Swiss Water Decaffeination
·         Knowledge of Fair Trade, fairly traded, and Rain Forest Alliance coffee.
·         Knowledge of characteristics specific to coffees grown in certain regions (ie which regions produce naturally less acidic coffee?)
·         Understanding customers and personality types.
·         Learning how to provide your customer with the product that they will like.
·         Understanding all the factors at every point in the coffee making process and how they will affect the final product, which is the beverage that is served.
The list goes on and on.
The level to which you may need to know these things can depend on the type of cafe you work in, and where you work in the world.
So in short, yes, there are many many many many skills that a barista must know other than a regular food service worker. It is never as simple as knowing how to operate a machine. Some of the skills that I listed can take over a year to get good at.
The attitude of most cafe managers I have met is the following: "I can train anyone to make a great cup of coffee if they don't have barista skills, but I can't train people to be good with customers if they don't have interpersonal skills."



Sabtu, 17 Maret 2018

SOFTSKILL (BAHASA INGGRIS BISNIS 2) - FIRST TASK DUE ON 17TH MARCH 2018




A BIOGRAPHY OF THOMAS ALVA EDISON
Thomas Alva Edison was born February 11, 1847 in Milan, Ohio (pronounced MY-lan). In 1854, when he was seven, the family moved to Michigan, where Edison spent the rest of his childhood.
"Al," as he was called as a boy, went to school only a short time. He did so poorly that his mother, a former teacher, taught her son at home. Al learned to love reading, a habit he kept for the rest of his life. He also liked to make experiments in the basement.
Al not only played hard, but also worked hard. At the age of 12 he sold fruit, snacks and newspapers on a train as a "news butcher." (Trains were the newest way to travel, cutting through the American wilderness.) He even printed his own newspaper, the Grand Trunk Herald, on a moving train.
At 15, Al roamed the country as a "tramp telegrapher." Using a kind of alphabet called Morse Code, he sent and received messages over the telegraph. Even though he was already losing his hearing, he could still hear the clicks of the telegraph. In the next seven years he moved over a dozen times, often working all night, taking messages for trains and even for the Union Army during the Civil War. In his spare time, he took things apart to see how they worked. Finally, he decided to invent things himself.
After the failure of his first invention, the electric vote recorder, Edison moved to New York City. There he improved the way the stock ticker worked. This was his big break. By 1870 his company was manufacturing his stock ticker in Newark, New Jersey. He also improved the telegraph, making it send up to four messages at once.
During this time he married his first wife, Mary Stilwell, on Christmas Day, 1871. They had three children -- Marion, Thomas, Jr., and William. Wanting a quieter spot to do more inventing, Edison moved from Newark to Menlo Park, New Jersey, in 1876. There he built his most famous laboratory.
He was not alone in Menlo Park. Edison hired "muckers" to help him out. These "muckers" came from all over the world to make their fortune in America. They often stayed up all night working with the "chief mucker," Edison himself. He is sometime called the "Wizard of Menlo Park" because he created two of his three greatest works there.
The phonograph was the first machine that could record the sound of someone's voice and play it back. In 1877, Edison recorded the first words on a piece of tin foil. He recited the nursery rhyme "Mary Had a Little Lamb," and the phonograph played the words back to him. This was invented by a man whose hearing was so poor that he thought of himself as "deaf"!
Starting in 1878, Edison and the muckers worked on one of his greatest achievements. The electric light system was more than just the incandescent lamp, or "light bulb." Edison also designed a system of power plants that make the electrical power and the wiring that brings it to people's homes. Imagine all the things you "plug in." What would your life be like without them?
In 1885, one year after his first wife died, Edison met a 20-year-old woman named Mina Miller. Her father was an inventor in Edison's home state of Ohio. Edison taught her Morse Code. Even when others were around, the couple could "talk" to each other secretly. One day he tapped a question into her hand: would she marry him? She tapped back the word "yes."
Mina Edison wanted a home in the country, so Edison bought Glenmont, a 29-room home with 13-1/2 acres of land in West Orange, New Jersey. They married on February 24, 1886 and had three children: Madeleine, Charles and Theodore.
A year later, Edison built a laboratory in West Orange that was ten times larger than the one in Menlo Park. In fact, it was one of the largest laboratories in the world, almost as famous as Edison himself. Well into the night, laboratory buildings glowed with electric light while the Wizard and his "muckers" turned Edison's dreams into inventions. Once, the "chief mucker" worked for three days straight, taking only short naps. Edison earned half of his 1,093 patents in West Orange.
But Edison did more than invent. Here Edison could think of ways to make a better phonograph, for example, build it with his muckers, have them test it and make it work, then manufacture it in the factories that surrounded his laboratory. This improved phonograph could then be sold throughout the world.
Not only did Edison improve the phonograph several times, but he also worked on X-rays, storage batteries, and the first talking doll. At West Orange he also worked on one of his greatest ideas: motion pictures, or "movies." The inventions made here changed the way we live even today. He worked here until his death on October 18, 1931, at the age of 84.
By that time, everyone had heard of the "Wizard" and looked up to him. The whole world called him a genius. But he knew that having a good idea was not enough. It takes hard work to make dreams into reality. That is why Edison liked to say, "Genius is 1% inspiration and 99% perspiration."

1.      What tenses are used in the article? (show the proof)
Answer : Past tenses
Proof: Thomas Alva Edison was born February 11, 1847 in Milan, Ohio (pronounced MY-lan).
In 1854, when he was seven, the family moved to Michigan, where Edison spent the rest
of his childhood.
2.       Restate one sentence in the article into gerund / to + infinitive
Answer :  Well into the night, laboratory buildings glowed with electric light while the Wizard
and his "muckers" turned Edison's dreams into inventions.
3.       Show a use of personal pronouns or possessive pronouns or reflexive pronouns in the article.
Answer : After the failure of his first invention, the electric vote recorder, Edison moved to New
York City.