Senin, 29 Mei 2017

tugas3_kontrak dalam bisnis_ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

KONTRAK KERJA DALAM BISNIS
Kontrak atau contracts (dalam bahasa Inggris) dan overeenkomst (dalam bahasa Belanda) dalam pengertian luas sering juga di namakan dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakanya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hokum yang di sebut perikatan (verbintenis). Dengan demikian kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi  para pihak yang membuat kontrak tersebut, karena itu kontrak yang mereka buat adalah sumber hokum formal, asal kontrak tersebut adalah kontrak yang sah. Berdasarkan pasal 1233 KUH Perdata ( B.W.) perikatan bisa terjadi karena perjanjian maupun karena undang-undang. Jadi makna perikatan lebih luas dari kata perjanjian, karena perikatan bisa ada karena undang-undang dan perjanjian. Didalam perikatan yang lahir karena undang-undang asas kebebasan untuk mengadakan perjanjian tidak berlaku. Suatu perbuatan bisa menjadi perikatan karena kehendak dari undang- undang.
Untuk perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian maka pembentuk undang- undang memberikan aturan-atuan yang umum, namun tidak demikian halnya dengan perikatan yang lahir karena undang-undang, pembentuk undang-undang membuat aturan- aturan yang harus dipenuhi oleh para pihak untuk memenuhi kewajibannya.
           
Syarat Syahnya Kontrak
Menurut pasal 1320 KUH perdata kontrak adalah sah bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sepakat para pihak untuk mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu; dan 4. suatu sebab yang halal.(3)

3) Hananudin Rahman, Legal Drafting, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal 4-5.

a.         syarat subjektif,
Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subyeknya / para pihak yang mengadakan kontrak, maka disebut syarat subyektif, karena jika syarat subyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya.
syarat ini apabila dilangar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi:
            1)  kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan);
            2)  kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
            Dengan diperlukannya kata ” sepakat ”, maka berarti kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak dan tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya ” cacat ” bagi perujudan kehendak tersebut.
b.         syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum, meliputi:
            1)  suatu hal (objek) tertentu;
            2)  suatu sebab yang halal (kausa).

Syarat Batal Perjanjian kontrak kerja
Dalam perjanjian timbal balik (bilateral) selalu hak dan kewajiban di sau pihak saling berhadapan dengan hak dan kewajiban di pihak lain. Dalam hukum Romawi dikenal asas yang menyatakan bahwa apabila salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik tidak memenuhi kewajibannya atau tidak berprestasi, pihak lainpun tidak perlu memenuhi kewajibannya. Dalam perkembangannya asas ini dituangkan dalam berbagai bentuk Dan BW sendiri yang mengikuti Code Civil Perancis memilih sebagai asas syarat batal seperti tercantum dalam Pasal 1266,37) yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

(2)    Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim

(3)    Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.

(4)    Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana, namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.

Perumusan Pasal 1266 BW di atas ini ternyata mengandung berbagai macam kontradiktif dan menimbulkan kesan sedemikian rupa, seakan-akan perjanjian batal dengan sendirinya kniena hukum begitu debitur melakukan wanprestasi (ayat 1), padahal pembatalan perjanjian tersebut harus dimintakan kq>.ula hakim (ayat 2). Selain itu, juga menimbulkan kesan seakan akan debitur juga berhak menuntut pembatalan perjanjian, padahal menurut Pasal 1266 BW itu yang berhak menuntut pembatalan perjanjian hanyalah kreditur. Misalnya jika pembeli A menuntut penjual B yang wanprestasi agar menyerahkan barang yang dijualnya, B seakan-akan dapat menjawab bahwa oleh karena ia tidak memenuhi kewajibannya, perjanjian jual-beli itu batal demi hukum, sehingga harus dianggap tidak pernah terjadi.

Beberapa kesalahan dalam perumusan Pasal 1266 BW tersebut maupun dalam kaitannya dengan Pasal 1267 B W, kata Dr. Hofmann disebabkan oleh karena pembentuk undang-undang kurang tepat dalam memahami pendapat yang berlainan dari Domat dan Pothieer -dua orang ahli hukum Perancis zaman dahulu- yang berpengaruh besar pada perumusan Code Civil Perancis, sedangkan Code Civil Perancis merupakan kodifikasi yang telah ditiru.38)
Dengan memperhatikan pendapat-pendapat dan tafsiran-tafsiran para ahli hukum pada umumnya terhadap ketentuan Pasal 1 266 BW tersebut, hal-hal yang menyangkut persyaratan untuk pembatalan perjanjian yang diatur pasal itu dapat disimpulkan sebagai berikut di bawah ini:39)

Ada 3 syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya pembatalan perjanjian yaitu:

(1)    Perjanjian harus bersifat timbal-balik;

(2)    Harus ada wanprestasi;

(3)    Harus dengan keputusan hakim.

Perjanjian yang bersifat timbal-balik adalah perjanjian dimana kedua belah pihak sama-sama mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi, misalnya perjanjian jual-beli, tukar menukar, sewa-menyewa dan lain sebagainya.
Jika dalam perjanjian yang bersifat timbal-balik. ini salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya artinya nonprestasi, pihak lainnya dapat menuntut pembatalan. Namun, sebelum kreditur menuntut pembatalan, debitur harus diberikan teguran/pernyataan lalai (ingebrekestelling) lebih dahulu (Hoge Raad 3 Februari 1933), dan wanprestasi yang dijadikan alasan harus mengenai hal yang prinsipil sekali (Hoge Raad 8 Mei 1930) jika tidak, pembatalan tidak dapat dilakukan.

'Pembatalan tidak terjadi dengan sendirinya dengan adanya wanprestasi itu, melainkan harus dimintakan kepada hakim, dan hakimlah yang akan membatalkan perjanjian itu dengan keputusannya. Jadi keputusan hakim di sini bersifat konstitutif (membatalkan perjanjian antara penggugat dan tergugat), bukan bersifat deklaratif (menyatakan batal perjanjian antara penggugat dan terugat).

Dengan demikian, wanprestasi hanyalah sebagai alasan hakim menjatuhkan keputusannya yang membatalkan perjanjian itu. Karena itu, hakim menurut keadaan berwenang untuk memberikan tenggang waktu selama-lamanya satu bulan kepada debitur untuk memenuhi prestasi (ayat 4; Dalam memberikan waktu tersebut sudah tentu hakim harus mempertimbangkan apakah debitur dapat memenuhi prestasinya dan apakah prestasi itu masih ada manfaatnya bagi kreditur. Tenggang waktu yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi prestasi ini disebut dengan terme de grace (jangka waktu pengampunan).

Jadi, tuntutan kreditur untuk membatalkan perjanjiannya dengan debitur tidak selamanya harus dikabulkan hakim, melainkan hakim akan mempertimbangkan lebih dahulu besar-kecilnya wanprestasi yang dilakukan debitur. Jika ternyata wanprestasi yang dilakukan debitur hanyalah mengenal hal yang kecil saja, tuntutan kreditur untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Akan tetapi, jika wanprestasi yang dilakukan debitur ternyata cukup besar sehingga sangai merugikan kreditur, tuntutan kreditur untuk membatalkan pei'.injlan tersebut akan dikabulkan hakim. Wewenang hakim untuk menilai besar-kecilnya wanprestasi yang dilakukan debitur ini dinamakan wewenang discretionair.

Bilamana hakim dengan keputusannya telah membatalkan perjanjian, hubungan hukum antara pihak yang semula mengadakan perjanjianpun menjadi batal, sehingga masing-masing pihak tidak perlu lagi memenuhi prestasinya. Apabila salah satu pihak sudah memenuhi prestasi, ia dapat menuntut pihak lainnya yang wanprestasi untuk mengembalikannya atau jika tidak mungkin lagi, harganya saja. Pihak yang mengajukan pembatalan perjanjian, berhak juga untuk menuntut ganti kerugian kepada debitur sebagai akibat daripada wanprestasi yang dilakukannya.


CONTOH SURAT PERJANJIAN KERJASAMA/KONTRAK



PERJANJIAN KERJASAMA
ANTARA
JULIA
DENGAN
Dr. ABDUL RASYID SALIMAN, S.H., M.M.
TENTANG
PEMBERIAN PINJAMAN MODAL BISNIS
 PROPERTI








BALUN IJUK, 30 MARET 2016





SURAT PERJANJIAN KERJA SAMA
Tentang Pemberian Pinjaman Modal Bisnis Properti

Pada hari ini, Rabu, tanggal 30, bulan Maret, tahun 2016, kami yang bertanda tangan di bawah ini:
1.   Nama                          : Julia, S.E
No. KTP                     : 1904044112950002
Alamat                        : Jl. Raya Merdeka RT 005/RW 002 Desa Celuak
Telepon                      : 0877 9765 5295
Dalam hal ini bertindak selaku atas nama diri sendiri, selanjutnya dalam perjanjian ini disebut PIHAK PERTAMA.
2.   Nama                          : Dr. Abdul Rasyid Saliman, S.H., M.M.
No. KTP                     : 30547689005643
Alamat                        : Jl. Ahmad Yani No. 69, Pangkalpinang
Telepon                      : 0819 9876 8778
Dalam hal ini bertindak selaku atas nama diri sendiri, selanjutnya dalam perjanjian ini disebut PIHAK KEDUA.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan perjanjian kerjasama (selanjutnya disebut Kontrak) dalam hal pemberian pinjaman modal bisnis properti pengadaan dan penjualan rumah tinggal dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang diatur dalam 17 pasal sebagai berikut:

PASAL 1
LINGKUP PROYEK
Pekerjaan         :    Pengadaan dan Penjualan Rumah Tinggal.
Rincian            :  Tipe 42, 2 (dua) kamar tidur, 1 (satu) ruang tamu, (satu) 1                          kamar mandi sebanyak 20 (dua puluh unit) dengan harga Rp 180.000.000,- (seratus delapan puluh juta rupiah) per unit.
Lokasi             :    Selindung Baru, Pangkalpinang.

PASAL 2
WAKTU PELAKSANAAN
Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dimulai setelah perjanjian ini ditandatangani, dan perhitungan nilai kerjasama ini ditargetkan selama 12 (dua belas) bulan dari tanggal 30 Maret 2016 sampai dengan 30 Maret 2017. Jika dalam waktu 12 (dua belas) bulan masih ada kavling yang belum terjual, maka kerjasama dapat dilanjutkan dengan kesepakatan yang sama atau pihak kedua berkewajiban membayarkan harga tanah kavling dengan harga kenaikan 20 % sesuai dengan luasan tanah yang tertera di dalam sertifikat kavling tersebut dari nilai awal kerjasama kepada Pihak Pertama.

PASAL 3
TUGAS PIHAK KEDUA
Sesuai dengan cakupan pekerjaan, pengelola melaksanakan, menyelesaikan atas seluruh rangkaian pekerjaan yang diperlukan antara lain :
1.                  Merencanakan, mengurus perizinan, membangun, melaksanakan pengawasan/supervisi bangunan, memasarkan dan mengurus penjualan/menerima uang dan menandatangani surat - surat penjualan yang diperlukan.
2.                  Memberikan informasi yang diperlukan dan melaksanakan komunikasi dengan baik kepada pemilik modal tanah, yaitu Pihak Pertama.
3.                  Membuat laporan pertanggung jawaban atas penjualan rumah setiap bulan dan mempertanggung jawab­kan kepada pemilik modal tanah dengan mengembalikan modal tanah dan perolehan laba proyek sesuai dengan perhitungan laba proyek dengan dasar jumlah minimal sesuai dengan yang telah disepakati. (Sesuai lampiran atas Analisa Study Kelayakan).




PASAL 4
TUGAS PIHAK PERTAMA
1.                  Menyerahkan sertifikat tanah yang menjadi objek perjanjian kepada Pihak Kedua yang disimpan oleh Notaris yang ditunjuk.
2.                  Memberi kuasa kepada Pihak Kedua untuk memecah tanah dan menjualnya kepada konsumen.
3.                  Berkewajiban membalik nama sertifikat kavling rumah yang terjual kepada Konsumen apabila Pihak Kedua telah memenuhi segala kewajiban pembayaran tanah kepada Pihak Pertama sesuai dengan luasan yang terjual.

PASAL 5
KETENTUAN UMUM
1.                  Pihak Pertama selaku pemilik modal menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada Pihak Kedua untuk dipergunakan sebagai modal bisnis untuk jenis usaha bisnis properti.
2.                  Pihak Kedua selaku pengelola modal dari Pihak Pertama bertanggungjawab untuk mengelola usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat 1, 2, dan 3.
3.                  Pihak Kedua menerima modal dalam bentuk uang dari Pihak Pertama yang diserahkan setelah perjanjian ini disepakati dan ditandatangani, sebagaimana yang termaksud dalam Pasal 5 ayat 2.
4.                  Pihak Pertama akan mendapatkan keuntungan bagi hasil usaha menurut persentase keuntungan yang telah disepakati bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 2.
5.                  Masing-masing pihak memiliki andil dalam usaha ini, baik modal maupun tenaga yang besar maupun pembagiannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 dan 4.


PASAL 6
MODAL KERJA
1.                  Modal Kerja adalah modal yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan, terdiri atas Modal Tanah dan Modal Bangunan :
2.                  Modal Kerja berupa tanah seluas 1.600 m2 (seribu enam ratus meter persegi) terdiri dari 20 (dua puluh) kavling bidang tanah dengan nilai yang disepakati dengan harga adalah Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) per m2sehingga total modal seluruhnya senilai Rp 320.000.000,- (tiga ratus dua puluh juta rupiah) yang disediakan Pihak Pertama.
3.                  Modal kerja berupa Modal Bangunan yaitu modal yang diperlukan untuk mengelola proyek berupa biaya perencanaan, perizinan, supervisi dan pelaksanaan konstruksi, overhead proyek, pemasaran dan penjualan dengan total modal senilai Rp 1.600.000.000,- (satu milyar enam ratus juta rupiah) disediakan Pihak Pertama. 

PASAL 7
MODAL USAHA
1.                  Besar total uang modal usaha, sebagaimana disebut pada Pasal 4 ayat 2 dan 3 ditambah dengan harga per unit rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1  adalah sebesar Rp 1.920.000.000,- (satu milyar sembilan ratus dua puluh juta rupiah).
2.                  Modal Pihak Pertama tersebut diserahkan kepada Pihak Kedua setelah akad ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, melalui transfer ke nomor rekening 0234.567.8910 Bank BCA Cabang Pangkalpinang a.n Dr. Abdul Rasyid Saliman, S.H., M.M.

PASAL 8
KEUNTUNGAN
1.                  Keuntungan usaha adalah keuntungan bersih (Nett Profit) senilai Rp 1.680.000.000,- (satu milyar enam ratus delapan puluh juta rupiah) berupa keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usaha (Cash Profit) senilai Rp 3.600.000.000,- (tiga milyar enam ratus juta rupiah).
2.                  Presentase keuntungan usaha untuk Pihak Pertama adalah sebesar 48% dariNett Profit.
3.         Profit tersebut akan dibayarkan oleh Pihak Pertama maksimal tanggal 20 (dua puluh) tiap bulannya.
4.         Profit tersebut dapat disampaikan lewat transfer rekening antar bank yang telah ditunjuk/disepakati atau dapat berupa pemberian cash secara langsung kepada pihak Kedua.

PASAL 9
KERUGIAN
1.         Jika terjadi kerugian usaha yang disebabkan oleh suatu hal diluar kesalahan Pihak Kedua ditanggung oleh kedua belah pihak dengan ketentuan, Pihak Pertama akan menerima pengembalian modal setelah dikurangi setengah dari jumlah kerugian yang diderita.
2.         Jika terjadi kerugian usaha yang disebabkan kelalaian oleh Pihak Kedua, maka Pihak Pertama berhak mendapatkan pengembalian modal usaha secara utuh.

PASAL 10
MASA BERLAKU
1.         Masa berlaku yang tersebut pada Pasal 1 adalah 12 (dua belas) bulan terhitung sejak perjanjian ini disepakati dan ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
2.         Atas kesepakatan Para Pihak, Kontrak dapat diperpanjang waktunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau ditambahkan nilai uang pokok investasi yang diatur dalam Kontrak Baru dan/atau addendum Kontrak.


PASAL 11
JAMINAN
1.                  Pihak kedua memberikan sertifikat hak milik berupa sebidang tanah Hak Milik yang terletak di Desa Padang Baru RT 006/RW 007, Kecamatan Pangkalanbaru Kabupaten Bangka Tengah seluas 10.000 m2 (sepuluhribu meter persegi).
2.                  Pihak pertama wajib mengembalikan sertifikat yang menjadi jaminan  sebagaimana disebutkan ayat 1 kepada Pihak Kedua setelah Pihak pertama mengembalikan modal usaha.

PASAL 12
SANKSI BAGI HASIL PIHAK PERTAMA
1.                  Apabila Pihak Pertama tidak bisa memenuhi kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 ayat 3 selama 3 (tiga) hari berturut-turut, maka Pihak Kedua pada tanggal 24 (dua puluh empat) di tiap bulannya berhak untuk menagih profit yang menjadi hak Pihak Kedua kepada Pihak Pertama.
2.                  Apabila Pihak Pertama sampai dengan 24 (dua puluh empat) hari sejak ditagih oleh Pihak Kedua masih belum bisa memberikan profit yang dimaksud, maka Pihak Pertama wajib mengembalikan uang pokok investasi yaitu sebesar Rp 1.920.000.000,-  (satu milyar sembilan ratus dua puluh jutarupiah) pada hari tersebut ditambah dengan profit bulanan yang berlangsung. Apabila sampai pada hari tersebut uang pokok investasi tidak/belum dikembalikan dan profit belum diberikan, maka Pihak Pertama dikenakan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah) per hari. Akibat dari keterlambatan ini, maka Kontrak dianggap berakhir setelah semua kewajiban Pihak Pertama dibayarkan.


PASAL 13
PENGEMBALIAN MODAL USAHA
Pihak Pertama berkewajiban mengembalikan modal usaha kepada Pihak Kedua sebagaimana disebut dalam Pasal 2 pada tanggal 30 Maret tahun 2017. Apabila sampai pada tanggal tersebut modal usaha belum dikembalikan, maka Pihak Pertama dikenakan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah) per hari dan Kontrak dianggap berakhir setelah semua kewajiban Pihak Pertama dibayarkan.

PASAL 14
PINALTY
1.                  Selama masa Kontrak, Pihak Pertama maupun Pihak Kedua tidak dapat merubah atau membatalkan atau memutus kontrak ini secara sepihak, kecuali ada kesepakatan bersama yang diatur dalam addendum Kontrak.
2.                  Penarikan uang pokok investasi baik sebagian atau seluruhnya sebelum habis masa berlaku Kontrak ini, maka Pihak Pertama mengenakan biaya Pinalty yang besarnya sesuai dengan kesepakatan kedua belak pihak.

PASAL 15
AHLI WARIS
1.                  Apabila Pihak Pertama sebagai pengelola investasi dalam masa Kontrak mengalami halangan tetap atau meninggal dunia sehingga tidak bisa melanjutkan atau mengelola Usaha ini, maka segala urusan yang mengikat dalam Kontrak ini akan dilanjutkan oleh ahli waris atau kuasa yang ditunjuk (secara tertulis) berdasarkan kesepakatan ahli waris Pihak Pertama.
2.                  Apabila Pihak Kedua dalam masa kontrak mengalami halangan tetap atau meninggal dunia, maka segala urusan yang mengikat dalam kontrak ini, Pihak Kedua menunjuk Istri Pihak Kedua untuk melanjutkan kontrak ini kepada dan apabila berhalangan tetap atau meninggal dunia maka akan dilanjutkan oleh ahli waris atau kuasa yang ditunjuk (secara tertulis) berdasarkan kesepakatan ahli waris Pihak Kedua.

PASAL 16
LAIN-LAIN

Bahwa hal-hal yang tidak dan/atau belum cukup diatur dalam Kontrak ini akan diputuskan bersama oleh Para Pihak secara Musyawarah serta dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan dan jiwa dari perikatan/Kontrak ini, dan dituangkan secara tertulis dalam Addendum Kontrak yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kontrak ini atau menjadi satu kesatuan dengan kontrak ini.

PASAL 17
STATUS HUKUM
Bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan Kontrak ini dengan segala akibatnya, maka Para Pihak sepakat memilih tempat kediaman hukum (domisili) yang umum dan tetap di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri.

Demikian Kontrak ini dibuat dan diselesaikan pada hari dan tanggal seperti tersebut pada bagian awal Kontrak ini. Segera, setelah Kontrak ini dibuat, Para Pihak dan Istri Pihak Kedua, lalu menandatangani Kontrak ini diatas materai, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta tanpa adanya unsur paksaan dari pihak manapun serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Dibuat di                   : Balun Ijuk
Pada tanggal             : 30 Maret 2016

PIHAK KEDUA                                                         PIHAK PERTAMA




Dr. Abdul Rasyid Saliman, S.H., M.M.                  Julia


Senin, 01 Mei 2017

tugas2_Aspek Hukum_Hukum Perdata

HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA

Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratanEropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).

Hukum perdata Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

Keadaan Hukum Perdata di Indonesia
      Kondisi Hukum Perdata di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
  1. Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat Bangsa Indonesia, karena negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
  1. Faktor Hostia Yuridisyang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
    1. Golongan Eropa dan yang dipersamakan
    2. Golongan Bumi Putera (pribumi / bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
    3. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).
 Adapun hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu:
  1. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.
  2. Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar Hukum Adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
  3. Bagi golongan timur asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.
Disamping itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti: 
-          Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 no7.4).
-           Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan denag no 717). 
Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:
-          Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912)
-          Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 no 108)
-          Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)
-          Ordonansi tentang pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98).

Kesimpulan:
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia yaitu hukum agama dan hukum adat, yang merupakan campuran dari sistem hukum-hukum eropa.Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.